CNBC Indonesia/Tri Susilo

Menunggu Inovasi Prabowo Untuk Sumber Energi Alternatif Pengganti BBM Bensin

Selasa, 20 Mei 2025

Pemerintah sedang mempersiapkan pelaksanaan program pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) bioetanol ke dalam BBM jenis bensin sebesar 5% (E5). Langkah ini diambil untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, memperkirakan bahwa program ini akan dimulai antara tahun 2025 atau 2026. Regulasi mengenai kewajiban penggunaan bioetanol akan dituangkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM. "Dari sini kita akan mengeluarkan keputusan Menteri. Jadi keputusan Menteri akan terpisah untuk memandatorikan," ujar Eniya dalam acara Coffee Morning CNBC Indonesia, yang dikutip pada Senin (19/5/2025). Namun, ia mengakui bahwa pengembangan bioetanol selama ini menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah pungutan bea cukai meskipun penggunaannya untuk campuran bahan bakar. Menurut Eniya, meskipun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) telah menetapkan bahwa cukai hanya dikenakan pada minuman beralkohol, masalah muncul pada klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) yang masih rumit. "Ini kalau dari PMK sendiri, peraturan Kementerian Keuangan itu sudah mengeluarkan, hanya menetapkan cukai itu di minuman saja. Jadi kalau untuk bahan bakar tidak. Tetapi ada sedikit KBLI yang berbelit. Jadi nanti harus di-clear-kan di nomor KBLI-nya," jelasnya. Sejalan dengan itu, CEO Pertamina New and Renewable Energy (PNRE), John Anis, berpendapat bahwa bioetanol untuk bahan bakar seharusnya tidak disamakan dengan alkohol untuk konsumsi. Selain untuk mengurangi impor, pemanfaatan bioetanol juga bertujuan untuk menekan emisi karbon.

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa kendaraan seharusnya mengalami penurunan emisi, dan dengan administrasi yang efisien, pengecualian dapat segera diberikan. Ia juga menekankan pentingnya penghapusan cukai untuk etanol sebagai bahan bakar, serta dukungan tambahan seperti penghapusan PPN untuk bioetanol. Selain itu, ia berharap adanya kebijakan khusus seperti Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) untuk industri bioetanol, mirip dengan yang diterapkan pada industri batu bara dan kelapa sawit. Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto, juga menekankan perlunya dukungan pemerintah untuk proyek pengembangan bioetanol, termasuk penetapan DMO dan DPO. Sugeng menambahkan bahwa pengembangan biofuel berfungsi untuk mengurangi emisi dan mendukung keberlanjutan, sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060. Energi dari tanaman ini dapat menggantikan impor BBM, menjadikan bahan bakar lebih bersih.

Sektor transportasi memberikan kontribusi yang signifikan, dan di sinilah peran biodiesel sebagai biofuel menjadi sangat krusial untuk menggantikan dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil," ujar Sugeng. Sementara itu, Direktur Utama PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) atau Sugar Co, Subholding Komoditi Gula PTPN III (Persero) Holding Perkebunan, menekankan bahwa akses pendanaan bagi petani tebu merupakan salah satu kunci utama agar pengembangan bioetanol di dalam negeri dapat berjalan dengan baik. "Akses pendanaan yang pertama adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang harus dipermudah, sehingga petani termotivasi untuk melakukan peremajaan," tambahnya. Selain peremajaan, pemerintah juga perlu memperbaiki varietas tebu yang digunakan oleh petani, karena varietas yang saat ini banyak digunakan tidak optimal untuk mencapai produktivitas. Ia optimis bahwa jika pemerintah dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut, dalam 2-3 tahun ke depan, produktivitas tebu nasional dapat kembali ke masa kejayaannya, yang akan berdampak pada swasembada gula dan swasembada energi melalui pengembangan bioetanol.


Tag:



Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.