Para pekerja yang tergabung dalam Forum Jaminan Sosial (Jamsos) menolak kebijakan Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) yang menggantikan sistem kelas BPJS Kesehatan. Penolakan ini disampaikan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 yang merupakan Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 mengenai Jaminan Kesehatan. Ketua Koordinator Forum Jamsos, Jusuf Rizal, menegaskan bahwa mereka menolak konsep KRIS karena dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan. Ia juga meminta Presiden Prabowo Subianto untuk meninjau kembali kebijakan-kebijakan terkait jaminan sosial. Jusuf menjelaskan bahwa kebijakan ini akan menambah beban biaya dari BPJS Kesehatan secara signifikan, yang dapat mengurangi anggaran yang telah dialokasikan. Ia meminta agar dana yang sudah dialokasikan di BPJS Kesehatan digunakan untuk meningkatkan pelayanan yang ada. Ketua Institute Hubungan Industrial Indonesia, Saepul Tavip, menilai bahwa kebijakan tersebut merugikan buruh. "Dampaknya sangat signifikan bagi buruh yang selama ini berada di kelas 1 dan kelas 2. Jika disamaratakan, mereka akan mengalami penurunan kelas," ungkap Tavip. Jika pemerintah berencana untuk menyamaratakan kelas BPJS Kesehatan, Tavip berpendapat bahwa lebih baik meningkatkan layanan yang selama ini dianggap kurang memadai. Ia menjelaskan bahwa penerapan KRIS akan mengakibatkan adanya iuran tunggal untuk peserta mandiri yang nilainya setara dengan iuran kelas 3 dan kelas 2 saat ini, yang berpotensi menurunkan pendapatan iuran dari peserta mandiri dan berdampak pada defisit pembiayaan. "Jika pemerintah berniat untuk meningkatkan kualitas ruang rawat inap, seharusnya mereka memperbaiki aspek yang lemah, bukan menurunkan yang sudah baik. Itulah yang kami tolak. Implikasinya sangat besar," jelas Tavip. Ia juga meminta pemerintah untuk tidak melanjutkan kebijakan tersebut dan menyatakan bahwa mereka akan turun ke jalan jika pemerintah tetap melaksanakan kebijakan KRIS. "Jika kebijakan ini dipaksakan, kami akan bertindak. Buruh akan turun ke lapangan untuk menolak. Ada cara-cara konsensional yang bisa kami lakukan," tambahnya. Tanggapan dari DJSN, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Nunung Nuryartono menyatakan bahwa pihaknya siap menerima masukan dari semua pihak, termasuk buruh, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas layanan dan sistem perlindungan sosial. "Sebagai dewan yang diberi tugas dan amanah oleh undang-undang, kami menerima setiap masukan dari semua pemangku kepentingan untuk meningkatkan kualitas layanan dan sistem perlindungan sosial di Indonesia, khususnya jaminan sosial," jelas Nuryartono. Sebagai catatan, penerapan regulasi baru KRIS BPJS Kesehatan harus dilaksanakan paling lambat pada 30 Juni 2025. Semua rumah sakit diizinkan untuk melaksanakan sebagian atau seluruh layanan rawat inap sesuai dengan ketentuan KRIS, dengan mempertimbangkan kapasitas masing-masing.