ANTARA/HO-BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan Mengeluarkan Dana Sebesar Rp1.084,7 Triliun Selama Periode 10 Tahun Untuk Program JKN

Senin, 26 Mei 2025

BPJS Kesehatan telah mengeluarkan dana sebesar Rp1.087,4 triliun selama lebih dari sepuluh tahun (2014-2024) untuk layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai bentuk komitmen untuk memastikan bahwa pembiayaan layanan kesehatan dilaksanakan dengan cara yang efektif, transparan, dan berkelanjutan.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti, dalam pernyataannya di Jakarta pada hari Senin, menyatakan bahwa sebagian besar dari total pembiayaan tersebut digunakan untuk menangani penyakit yang tergolong katastropik, yang memerlukan intervensi medis jangka panjang dan biaya yang tinggi.

"Delapan penyakit utama yang termasuk dalam kategori katastropik menyerap hingga 31 persen dari total biaya pelayanan kesehatan. Dari tahun 2014 hingga 2024, total pembiayaan untuk penyakit-penyakit katastropik tersebut telah mencapai lebih dari Rp235 triliun," ujarnya.

Ia juga menyebutkan bahwa penyakit jantung menjadi beban pembiayaan tertinggi, diikuti oleh stroke, kanker, gagal ginjal, talasemia, hemofilia, leukemia, dan sirosis hati.

"Untuk memastikan bahwa pembiayaan yang besar ini dikelola dengan efisien dan akuntabel, BPJS Kesehatan telah mengembangkan sistem transparansi pembayaran klaim yang berbasis digital," tambahnya.

Melalui dashboard informasi klaim, fasilitas kesehatan kini dapat memantau proses klaim secara menyeluruh mulai dari tahap pengajuan, status verifikasi, hingga realisasi pembayaran. Dashboard ini juga menampilkan data pemanfaatan layanan kesehatan, sistem antrean pasien, serta saluran pengaduan peserta secara terintegrasi.

"Kami ingin semua fasilitas kesehatan memiliki akses informasi yang terbuka. Transparansi ini sangat penting karena akan memperkuat rasa saling percaya dan menjamin kesinambungan pelayanan," ungkapnya.

Sebagai bentuk tanggung jawab atas kesinambungan operasional rumah sakit mitra, BPJS Kesehatan juga menerapkan skema Uang Muka Pelayanan Kesehatan (UMP).

Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Abdul Kadir, menjelaskan bahwa dana tersebut diberikan kepada rumah sakit yang telah mengajukan klaim tetapi masih dalam proses verifikasi, sehingga pembayaran dapat dilakukan dengan lebih cepat.

Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Abdul Kadir, menjelaskan bahwa dana tersebut diberikan kepada rumah sakit yang telah mengajukan klaim tetapi masih dalam proses verifikasi, sehingga pelayanan tetap dapat berjalan tanpa terhambat oleh likuiditas.

"Sepanjang tahun 2024, BPJS Kesehatan telah menyalurkan UMP sebesar Rp16,97 triliun, dengan rata-rata 419 rumah sakit per bulan yang menerima manfaat ini. Sebelumnya, pada tahun 2023, BPJS Kesehatan juga telah mengucurkan Rp11,39 triliun untuk pemberian UMP kepada rumah sakit," ucap Abdul.

Ia menjelaskan bahwa UMP merupakan komitmen BPJS Kesehatan untuk terus mengoperasikan fasilitas kesehatan dan memastikan pelayanan kepada peserta JKN tidak mengalami kendala.

"Dengan pendekatan yang mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan kolaborasi, BPJS Kesehatan terus memperkuat perannya sebagai penyelenggara Program JKN. Pembiayaan yang tepat sasaran dan sistem pembayaran yang dapat dipantau secara terbuka menjadi fondasi utama dalam memastikan penyelenggaraan Program JKN dapat terus tumbuh dan memberikan perlindungan menyeluruh bagi seluruh penduduk Indonesia," tuturnya.

Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menegaskan perlunya kehati-hatian dalam implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang memiliki kompleksitas kebijakan ini. Ia menyarankan agar penerapan KRIS tidak dilakukan secara terburu-buru.

"Disarankan agar batas uji coba implementasi KRIS diperpanjang hingga 31 Desember 2025. Selain itu, penerapannya juga perlu dikaji kembali untuk menentukan seperti apa nantinya," ujarnya.

Edy juga mengingatkan bahwa terdapat aspirasi kuat dari masyarakat yang menolak sistem satu kelas, termasuk dari berbagai elemen.

"Apindo menyampaikan bahwa penolakan terhadap penerapan KRIS dengan satu kelas perawatan, karena berpotensi mengurangi jumlah tempat tidur. Tak hanya itu, serikat pekerja dari seluruh Indonesia juga menyatakan penolakan terhadap implementasi KRIS dengan satu kelas perawatan yang di dapat oleh pesesrta JKN termasuk buruh". Ungkapnya.


Tag:



Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.